Minggu, 23 Januari 2011

ARTIKEL LIZ #2


Makam Mbah Priok Sumber Penghasilan
Dibalik masalah kepercayaan, ternyata ada juga permasalahan ekonomi yang membuat warga menolak pembongkaran makam Mbah Priok yang berujung pada kerusuhan itu. Layaknya tujuan wisata, makam Mbah Priok menjadi sumber mata pencaharian bagi warga setempat dengan berjualan minuman, makanan kecil, kemenyan, dan kembang. Ada pula yang mencari uang dengan menjadi tukang parkir dan penjaga makam.  Kasarnya, mereka menggantungkan hidup mereka pada makam Mbah Priok ini. Tidak hanya diri mereka sendiri tentunya, namun juga keluarga mereka. Jadi, pantaslah emosi mereka cepat naik saat mengetahui lahan tempat mereka mendapatkan uang itu hendak dibongkar. Terkesan pemerintah tidak peduli dengan rakyat kecil seperti mereka. Pemerintah seakan bersikap acuh tak acuh apabila mereka tidak bisa makan karena kehilangan pekerjaan. Beginikah kepekaan pemerintah terhadap rakyatnya?
-elizabeth-

Sabtu, 22 Januari 2011

ARTIKEL LIZ #1


Kerusuhan Makam Mbah Priok 2010

Tanjung Priok  berdarah untuk yang kedua kalinya pada Rabu, 14 April  2010.  Meski korban yang meninggal jauh lebih sedikit daripada peristiwa Tanjung Priok 1984, bentrokan yang terjadi antara warga dengan satpol PP itu menarik perhatian banyak pihak. 

Penyebab terjadinya kerusuhan menurut pihak warga terjadi karena makam Mbah Priok yang dianggap keramat itu dikabarkan hendak dibongkar oleh satpol PP karena berada di lahan milik PT PELINDO II. Melihat para petugas satpol PP yang tidak sedikit itu, emosi warga terpancing dan akhirnya terjadilah bentrokan yang mengakibatkan 90 orang terluka. Sedangkan menurut pihak pemerintah setempat, mereka sama sekali tidak berniat untuk membongkar makam Mbah Priok, justru memugarnya. Dapat kita lihat, latar belakang terjadinya kerusuhan ini salah satunya adalah buruknya komunikasi.
Di peristiwa kerusuhan Makan Mbah Priok ini, kita bisa menyaksikan keberingasan yang terpancar dari setiap pasang mata.  Di tempat dimana seharusnya rakyat dan pemerintah hidup berdampingan membangun negara yang lebih baik. Di mana seharusnya rakyat dan pemerintah menjadi satu kesatuan utuh yang tidak terpecah belah guna menjaga kedaulatan negara. Tidak tahu apa jadinya apabila suatu saat negara kita dalam keadaan terancam. Akankah rakyat dan pemerintah bersatu?

-Elizabeth-

Jumat, 21 Januari 2011

[RINGKAS-ED] BIDANG EKONOMI PART 1

PRIOK BERDARAH, EKOR DARI PRIVATISASI KORUP PELINDO


                Di balik dua tragedi yang berulang di Koja, Tanjung Priok, meski penyebab bisa bertolak belakang, tapi sasarannya tetap sama, yaitu umat Islam.

                Jika tragedi Priok 1984 disebabkan oleh politik represif rezim Orde Baru terhadap Islam, maka dalam kejadian yang menimpa warga Priok kali ini bermotifkan ekonomi; atau lebih tepatnya bisnis. Keserekahan antara kapitalis besar dunia atas wilayah Koja, yang ironisnya dibantu oleh pejabat pemerintah pusat dan daerah RI serta BUMN Pelindo II.

                Kapitalis dunia itu sendiri adalah Hutchison Whampoa Group, sebuah kelompok bisnis yang dimiliki oleh bos besar Hongkong Li Ka-shing yang merupakan orang terkaya di Asia Timur. Salah satu cabang perusahaan ini yaitu Hutchison Port Holdings (Grossbeak Pte Ltd.), memiliki 51% saham di Jakarta International Container Terminal (JICT) dan 48% saham di Terminal Peti Kemas (TPK) Koja. Sisa saham yang tidak dimiliki perusahaan ini dimilike oleh BUMN Pelindo II. Saham TPK Koja – yang pada saat itu berada di tangan BPPN - sendiri diambil alih oleh Hutchison Group akibat Krisis 1998.

                Proses peralihan kepemilikan ini diisi penuh oleh sogok dan kongkalikong antara Hutchison dengan pemerintah. Apa hubungan antara privatisasi ini dengan Tragedi Priok Berdarah?

                Hutchison Group, dengan saham yang lebih dari setengah pada JICT, menginginkan agar urusan peti kemas di Indonesia ditangani seluruhnya oleh JICT. Parahnya lagi, tindakan yang jelas merupakan monopoli pihak luar terhadap perusahaan lokal ini adalah karena bantuan penduduk RI sendiri. Bahkan MA sendiri pun sudah membenarkan pernyataan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang mengatakan telah terjadi monopoli di pelabuhan peti kemas Tanjung Priok.

                Dan mirisnya lagi, walau hampir setengah saham TPK Koja dimiliki oleh Hutchison Group, ingin ‘dibunuh’ oleh Hutchison Group sendiri. TPK Koja yang ditargetkan sebagai saingan bagi JICT sebagai upaya untuk mengembangkan kedua perusahaan, kini terus dianaktirikan dan disiapkan untuk mati. Dengan matinya TPK Koja, JICT akan menjadi satu-satunya perusahaan yang bergerak dalam bidang peti kemas di Indonesia, dan dengan saham yang lebih dari 50% maka Hutchison Group akan dengan mudah berdiri sebagai pemimpinnya. Padahal, sekitar tahun 1997 – sebelum Krisis Moneter 1998 – TPK Koja pernah dijuluki sebagai Booming’s Port dalam wilayah Asia Tenggara.

                PT. Pelindo II sendiri ikut mengambil andil dalam menyudutkan TPK Koja, antara lain dengan menyewakan lahan milik TPK tersebut ke PT Graha Segara (depo peti kemas) dan PT Aneka Kimia Raya untuk instalasi Tanki Penyimpanan Bahan Bakar Cair. Dan yang lebih frontal lagi, lahan milik TPK Koja disewakan ke JICT untuk memperluas Container Yard-nya – yang jelas-jelas merupakan kompetitornya.

                Perluasan lahan untuk JICT ini ditutp-tutupi dengan alasan ‘menyambung’ dermaga, ‘menyatukan’ gate ataupun yard demi kemudah Transhipment. Dalam setahun ke depan JICT memiliki rencana ekspansi besar-besaran sebesar US$ 166 juta; yang setara dengan biaya penanganan peti kemas sebanyak 3,2 juta TEU per tahun. Padahal kapasitas peti kemas yang bisa masuk ke Tanjung Priok hanya 3 juta, yang berarti jika rencana tersebut berhasil dijalankan, hanya JICT yang berkuasa di Tanjung Priok, yang lainnya bangkrut. Dengan demikian lengkaplah monopoli Hutchison Group atas pelabuhan terbesar di Indonesia ini.

                Tapi apa hubungan sebenarnya dengan Tragedi Priok? Jika ditelusur lebih dalam, rencana ekspansi ini ternyata mencakup makam Al-Habib Hassan bin Muhammad al-Haddad.

------------------------------------

yang bagian kedua blom kelar, trus ini bahasanya kacau jadi mohon dibenerin lagi... kurang lebih udah diringkas tapi kayanya  blom terlalu ringkas. terus gua gatau yang nyari makam al-haddad itu dimana jadi blom diituin deh yah

Senin, 17 Januari 2011

kawan2

hey kawan2. kita mau bikinnya perkolom ekonomi, sosial-budaya, gitu2 kan?? nah kalo yang ekonomi artikel yang TRAGEDI BERDARAH MBAH PRIOK, BUNTUT DARI PRIVATISASI KORUP itu bagus buat diringkas. Kalo latar belakang secara umum (kronologi) buat yang halaman paling depan, mau yang mana ya? yang umum biar gue ringkas. itu yg ekonomi punya siapa ?

Kamis, 13 Januari 2011

baca gan

weh ini artikel mana aja yang mau diambil, trus mau diringkasnya segimana banyak? trus bikin draft formatnya dipost disini aja, jadi gausah dibawa ke skolah2 mulu, tinggal diedit ama kasih notif di akhiran postingan mana yg diedit. kamsia yeh :D
TRAGEDI BERDARAH MBAH PRIOK, BUNTUT DARI PRIVATISASI KORUP

Tanjung Priok kembali membara. Dan seperti Tragedi Priok 1984, lokasi kejadian 14 April 2010 juga terjadi kawasan Koja. Sebab musabab atau pemicunya memang berbeda, tapi yang menjadi sasaran tetap sama, yaitu umat Islam.

Kalau Tragedi 1984 bermotif politik represif rezim orde baru terhadap Islam, maka Tragedi Priok Berdarah kali ini bermotif ekonomi bisnis, tepatnya ketamakan bisnis kapitalis besar dunia atas wilayah Koja, bekerjasama dan dibantu penuh oleh para pejabat pemerintah pusat dan daerah RI serta BUMN Pelindo II.

Kapitalis besar dunia itu adalah Hutchison Whampoa Group, milik Taipan Hongkong Li Ka-shing, orang terkaya di Asia Timur. Salah satu anak perusahaan grup ini, Hutchison Port Holdings (Grossbeak Pte.Ltd), adalah pemilik 51% saham di Jakarta International Container Terminal (JICT), dan 48% saham di Terminal Peti Kemas Koja (TPK Koja). Saham sisa di dua terminal peti kemas itu dimiliki oleh BUMN Pelindo II. Hutchison mengambil alih saham TPK Koja dari Humpuss Intermuda, yang saat itu berada di tangan BPPN akibat krisis 1998.

Kepemilikan Hutchison Group di dua perusahaan besar terminal peti kemas di Priok ini diperoleh melalui proses privatisasi yang korup di tahun 1999 (JICT) dan tahun 2000 (TPK Koja), penuh kongkalingkong dan sogok. Kapitalis besar dunia yang punya ambisi monopoli pelabuhan besar dunia dibantu penuh oleh para pejabat pemerintah dan BUMN negeri ini, yang dalam otaknya hanya ada pikiran "UANG". 

Mungkin ada yang bertanya, apa hubungan antara privatisasi itu dengan Tragedi Priok Berdarah? 

Hubungannya jelas: ketamakan kapitalisme global untuk memonopoli habis bisnis terminal peti kemas (TPK) yang menggiurkan itu. Dan monopoli yang sejatinya ditentang oleh hukum di negara beradab, termasuk katanya negeri ini, ternyata dipertontonkan dengan telanjang oleh Hutchison Group, dibantu Pelindo II. Kepemilikan Hutchison atas dua terminal peti kemas besar itu, termasuk dengan akal-akalan penjualan saham kepada perusahaan berbasis di Mauritius yang ternyata masih satu grup, memang amat kasat mata. 

Mahkamah Agung RI pun telah mengetukkan palu atas permohonan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang menyatakan telah terjadi monopoli di pelabuhan petikemas Tanjung Priok.

Yang membuat miris, ternyata Hutchison nampak jelas punya niat buruk untuk "membunuh" TPK Koja, yang sebelumnya amat besar memberi keuntungan pada negara. TPK Koja yang awalnya diniatkan sebagai kompetitor bagi JICT, untuk memacu perkembangan di dua perusahaan milik Pelindo itu, kini terus dikerdilkan oleh Hutchison. Dan nampaknya tengah disiapkan untuk mati. Dan anehnya itu dibantu oleh BUMN Pelindo II. Padahal sekitar tahun 1997, TPK Koja pernah disebut-sebut sebagai Boomings Port untuk Asia Tenggara.

PT. Pelindo II membantu ambisi besar Hutchison itu dengan menyempitkan lahan TPK Koja, antara lain  dengan menyewakan tanah disana kepada PT Graha Segara (depo petikemas) dan PT Aneka Kimia Raya untuk Instalasi Tanki Penyimpanan Bahan Bakar cair. Dan yang lebih menggenaskan lagi ada pengalihan lahan untuk perluasan Container Yard PT. JICT ke arah area TPK Koja.

Perluasan PT. JICT dilakukan, dengan nama ‘penyambungan’ dermaga maupun rencana ‘penyatuan’ gate maupun yard (lapangan penumpukan) demi alasan kemudahan Transhipment. Dalam 2 (dua) tahun ke depan PT JICT akan melakukan ekspansi dengan investasi sebesar 166 juta US$. engan ekspansi sebesar itu PT JICT direncanakkan mampu menangani petikemas sebanyak 3.2 juta TEUs setahun., padahal jumlah petikemas yang keluar masuk Tanjung Priok hanya sekitar 3 juta TEUs, hal ini berarti bahwa di Tanjung Priok cukup satu terminal Petikemas saja, yaitu PT JICT. Yang lain silahkan mati saja, termasuk TPK Koja. Maka lengkaplah monopoli Hutchison grup atas pelabuhan terbesar Indonesia ini. 

NAH, ekspansi (perluasan) inilah yang jrencananya akan "memakan" korban makam Al-Habib Hassan bin Muhammad al-Haddad. Sebuah ambisi dan ketamakan kapitalis global yang monopolistik, dibantu para pejabat penjual negara, yang karena menjadikan UANG sebagai tuhan, mereka tidak peduli pada sensitifitas lokal. Demi uang mereka terabas norma-norma kultur religius lokal, hingga akhirnya anak-anak bangsa menjadi korban bergelimpangan.

Sampai kapan ketamakan para kapitalis global itu mengangkangi negara kita? Dan sampai kapan para pejabat negara ini, yang sejatinya dibayar rakyat untuk mengamankan aset negara dan rakyatnya tapi justeru menggadaikannya kepada para kapitalis global yang bertuhan FULUS itu?*

*****



PRIVATISASI KORUP DI PELINDO BERUJUNG MAUT


Proses privatisasi terhadap PT Jakarta International Container Terminal (PT JICT) –anak perusahaan PT Pelindo II- pada tahun 1999 amat sarat dengan aroma korupsi. Banyak pejabat tinggi negara yang terlibat dalam proses ini diduga kuat melakukan korupsi dan kongkalingkong untuk keuntungan pribadi dan Hutchison Whampoa Group, perusahaan Hongkong yang membeli 51% saham JICT.

Namun seperti banyak kasus korupsi lain di republik ini yang melibatkan pejabat-pejabat tinggi negara, proses hukum terhadap para pejabat itu tidak pernah jelas. Setelah ditunda-tunda dan sempat dua tahun dihentikan penyidikannya oleh Kejaksaan,Timtas Tipikor (Tim Pemeberantasan Tindak Pidana Korupsi) Nasional saat itu akhirnya mengumumkan nama-nama tersangka koruptor yang bertanggung jawab atas privatisasi 51% saham PT. JICT itu. Sederet nama besar muncul seperti Herwidayatmo (mantan Ketua Bapepam dan saat itu Deputi Meneg BUMN bidang Privatisasi), Tanri Abeng (saat itu Menteri BUMN), dan Bambang Subianto (saat itu Menteri Keuangan), serta beberapa pejabat PT.Pelindo II, salah satunya adalah Herman Prayitno (saat itu Dirut PT. Pelindo II).

Namun, proses hukum terhadap kasus korupsi ini tak pernah jelas sampai sekarangPadahal, proses privatisasi itu dinilai banyak kalangan tidak masuk akal karena harga jual JICT yang sangat rendah, hanya US252 juta plus bantuan US$28 juta dalam bentuk bantuan teknologi informasi selama 20 tahun. Sebagai perbandingan, Terminal Peti Kemas Surabaya dengan kapasitas produksi sepertiga dari JICT laku dijual US$365 juta. 

Proses privatisasi ini juga telah merugikan negara trilunan rupiah akibat adanya perjanjian Technical Assistance Know-How and Service oleh Menneg BUMN waktu itu (Tanri Abeng), yang mewajibkan pembayaran imbalan fee kepada Seaport V. sebesar 14,08 % dari laba bersih bulanan. Ini adalah pelanggaran hukum."Pembayaran fee yang besarnya mencapai 4,5 miliar per bulannya selama 20 tahun ini, jika terus dilakukan maka mengakibatkan kerugian negara mencapai triliunan rupiah," kata Hari Santosa,Sekretaris Jenderal Indonesian Port Watch (IPW), pada 25 Januari 2006.

Privatisasi itu juga yang menjadikan TPK Koja yang semula dicita-citakan menjadi “the most modern container terminal” di Indonesia mengalami derita panjang, dan saat ini tengah menuju kematian, dibunuh pelan-pelan oleh Hutchison Group demi ambisi monopoli di Tanjung Priok. Tentu dengan bantuan para pejabat pemerintah pusat dan daerah serta BUMN Pelindo.

Ketamakan Hutchison Group milik taipan Hongkong Li Ka-shing, yang berusaha melahap seluruh area sekitar Koja, termasuk makam Al-Habib Hassan bin Muhammad al-Haddad, akhirnya memakan korban nyawa anak-anak bangsa dan kerugian material ratusan miliar.*

Senin, 10 Januari 2011

tambahan artikel


Pemprov DKI Jamin Biaya Perawatan Aparat yang Terluka
Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI Jakarta menanggung biaya pengobatan korban luka-luka dari pihak aparat yang dirawat di RSUD Koja akibat bentrokan, saat hendak membongkar gapura di Makam Mbah Priok, Tanjungpriok, Jakarta Utara, Rabu (14/4).
Terlebih, insiden ini merupakan kategori luar biasa dan merupakan kasus kecelakaan kerja. Selain itu, sebanyak 16 rumah sakit lain juga telah siap dijadikan rujukan apabila sewaktu-waktu jumlah korban meningkat dan tidak tertampung lagi. “Seluruh korban luka dari pihak aparat akan dijamin oleh Pemprov DKI,” kata Dien Emawati, Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Rabu (14/4).
Dien menambahkan, hingga siang tadi pihaknya sudah melakukan berbagai antisipasi terkait peristiwa bentrokan di Makam Mbah Priok, termasuk dengan menyiagakan belasan mobil ambulan dari sudin maupun dari puskesmas-puskesmas yang sengaja didatangkan ke lokasi.
Selain itu, Palang Merah Indonesia (PMI) juga telah siap memberikan bantuan untuk mengevakuasi korban apabila dibutuhkan sewaktu-waktu. “Untuk kendaraan ambulan kita sudah mengerahkan sesuai yang dibutuhkan. Sehingga sejauh ini seluruh korban bisa dievakuasi dengan baik,” ujarnya.
Dirut RSUD Koja Togi Asman Sinaga yang dihubungi wartawan mengatakan, sejauh ini jumlah korban luka yang masuk ke RSUD koja adalah 87 orang. Mereka terdiri dari, 57 Satpol PP, 19 warga, dan 11 aparat kepolisian (Brimob). Namun, pada pukul 16.00 ini jumlah yang dirawat tinggal 16 orang saja, sedangkan sisanya sudah dipulangkan. “Saat ini yang dirawat tinggal 16 orang saja, mereka mengalami luka agak berat hingga harus dirawat,” jelasnya.
Kepala Bidang Informasi Publik Dinas Kominfo dan Kehumasan DKI DKI Jakarta, Cucu Ahmad Kurnia, mengatakan, saat ini aparat Satpol PP sudah ditarik dari lokasi. Ini dilakukan setelah ada instruksi dari Sekretaris Daerah Muhayat agar kerusuhan tidak melebar. “Aparat saat ini sudah ditarik mundur dari lokasi,” tandasnya.
Cucu mengatakan, aparat berusaha menguasai lokasi sejak pukul 06.00 pagi. Jumlah aparat Satpol PP yang dikerahkan sebanyak 2.000 petugas, sedang untuk polisi yang membantu berjumlah 640 petugas. “Petugas yang terluka sudah mendapat perawatan di RSUD Koja,” tandasnya.
From Vivanews :
Sembunyi di Mushola, Satpol PP Dibacok
Untuk menghindari amuk warga, ia sempat melepaskan atribut Satpol PP.
Rabu, 14 April 2010, 17:47 WIB
http://media.vivanews.com/thumbs2/2010/04/14/88182_bentrok_di_makam_mbah_priok__pintu_masuk_pelindo_dibakar_300_225.JPG
Bentrok di makam Mbah Priok, pintu masuk Pelindo dibakar (Sandy Alam Mahaputra/VIVAnews)
Nasib sial menimpa Hendra, seorang Satpol PP Pemprov DKI Jakarta. Upaya Hendra bersembunyi dari kejaran warga yang mengamuk akibat rencana eksekusi makam Mbah Priok tidak berhasil. Hendra jadi bulan-bulanan warga dan kini terkapar sendirian.
Hendra semula bersembunyi di dalam mushola yang berada di dalam terminal peti kemas Pelindo II, Koja, Jakarta Utara. Untuk menghindari amuk warga, ia melepaskan atribut Satpol PP. Nahas, warga melihatnya sekitar pukul 17.00 WIB, Rabu 14 April 2010.
Ia sempat lari, namun warga berhasil mengejarnya. Hendra pun jadi bulan-bulanan warga. Tidak hanya dipukuli, kepalanya juga berkali-kali kena sabetan senjata tajam. Darah mengucur deras dari kepalanya. Aksi warga kemudian dihentikan petugas provos.
Namun hingga pukul 17.40 WIB, Hendra masih terkapar di lapangan yang ada dalam terminal. Ia hanya duduk dan dijaga seorang pegawai Pelindo II.
Upaya membawa Hendra ke RSUD Koja terhambat karena ambulans tidak bisa mendekat akibat terhalang kendaraan Satpol PP yang hancur dirusak warga. Tubuh Hendra semakin lemas karena darah yang tidak berhenti mengucur.
Bentrok Makam Mbah Priok: 20 Kendaraan Rusak
Rabu, 14 April 2010, 18:08 WIB
http://media.vivanews.com/thumbs2/2010/04/14/88177_bentrok_warga_dan_aparat_di_makam_mbah_priok_300_225.JPG
Bentrok warga dan aparat di makam Mbah Priok (Sandy Alam Mahaputra/VIVAnews)
Kerusakan dan korban jiwa jatuh akibat bentrokan penolakan penggusuran makam Mbah Priok. Hampir 20 kendaraan dibakar dan dirusak massa.
Usai sudah bentrokan massa dengan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) di makam Mbah Priok atau Al Imam Al Arif Billah Al Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Rabu 14 April 2010.
Massa melanjutkan dengan melakukan sweeping di Terminal Peti Kemas Pelindo. Jaraknya sekitar 1 kilometer.
Sisa-sisa bentrokan terlihat di depan gerbang utama makam dan Terminal Peti Kemas. Pantauan VIVAnews, sekitar 12 unit mobil dinas milik Satpol PP sudah tak berbentuk.
Kerusakan parah dan sisa-sisa kebakaran juga terlihat pada tiga unit mobil karyawan. Tidak hanya itu, ada dua unit truk kontainer pengangkut alat berat rusak parah.
Satu unit ‘bangkai’ mobil meriam air atau water cannon juga masih menyisakan kepulan asap. Belum lagi ada sekitar tiga unit motor yang dibakar massa.
Hingga pukul 16.45 WIB, jumlah korban yang mengalami luka-luka mencapai 107 orang. Data yang dikeluarkan RSUD Koja itu membeberkan, jumlah korban luka kebanyakan diderita aparat Satpol PP dan polisi.
Sedangkan data korban tewas masih simpang siur. Di RS Koja tidak ada korban tewas. Tetapi sebanyak tujuh orang dinyatakan kritis.
Massa Sweeping, Polisi Kena Bacok di Kepala
Kepala Suranta masih bercucuran darah. Belum lagi bagian muka yang babak belur.
Rabu, 14 April 2010, 17:58 WIB
http://media.vivanews.com/thumbs2/2010/04/14/88180_bentrok_warga_dan_aparat_di_makam_mbah_priok_300_225.JPG
Bentrok warga dan aparat di makam Mbah Priok (Sandy Alam Mahaputra/VIVAnews)
Massa yang menolak penggusuran makam Mbah Priok masih melakukan sweeping petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Saat sweeping berlangsung, massa justru melihat personel polisi dan langsung menyerang.
http://media.vivanews.com/thumbs2/2010/03/04/86115_santri_gunakan_senjata_tajam_cegah_penggusuran_makam_mbah_priok_300_225.jpg
Santri Gunakan Senjata Tajam Cegah Penggusuran Makam Mbah Priok (VIVAnews/Tri Saputro)
Pantauan VIVAnews, aksi sweeping dilakukan setelah bentrokan di Makam Mbah Priok atau Al Imam Al Arif Billah Al Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Rabu 14 April 2010.
Sweeping dilakukan di Terminal Peti Kemas yang berjarak sekitar 1 kilometer. Saat sweeping, massa melihat seorang anggota Polres Jakarta Utara di Koperasi Terminal Pelindo.
Anggota polisi yang sudah melepas seragamnya itu menjadi sasaran amuk massa. Bripka Suranta, personel Polres Jakarta Utara, mengalami luka parah di bagian kepala dan dada.
Kepala Suranta masih bercucuran darah. Belum lagi bagian muka yang babak belur. Suranta masih terlihat merintih kesakitan. Suranta yang awalnya bersandar di dinding koperasi akhirnya dibawa masuk ke gudang oleh pegawai Pelindo.
Suranta tidak sendiri. Petugas Satpol PP Hendra juga menjadi amuk massa. Dia menjadi korban sweeping bersama Suranta.
Hingga kini mobil ambulans tidak dapat masuk ke lokasi. Hal itu dikarenakan di pintu gerbang Terminal Peti Kemas masih tertutup bangkai-bangkai mobil yang terbakar.
Bentrokan dipicu penolakan penggusuran makam Mbah Priok atau Al Imam Al Arif Billah Al Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad.




V. KATEGORI PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG TERJADI

1. Pembunuhan secara kilat (summary killing)

Tindakan pembunuhan secara kilat (summary killing) terjadi di depan Mapolres Metro Jakarta Utara tanggal 12 September 1984 pkl 23.00 akibat penggunaan kekerasan yang berlebihan dari yang sepatutnya terhadap kelompok massa oleh satu regu pasukan dari Kodim Jakarta Utara dibawah pimpinan Serda Sutrisno Mascung dengan senjata semi otomatis.
Para anggota pasukan masing-masing membawa peluru yang diambil dari gudang masing-masing sekitar 5-10 peluru tajam. Atas tindakan ini jatuh korban 24 orang tewas, 54 luka berat dan ringan. Atas perintah Mayjen Try Soetrisno Pangdam V Jaya korban kemudian dibawa dengan tiga truk ke RSPAD Gatot Subroto.


2. Penangkapan dan penahanan sewenang-wenang (unlawful arrest and detention)

Setelah peristiwa, aparat TNI melakukan penggeledahan dan penangkapan terhadap orang-orang yang dicurigai mempunyai hubungan dengan peristiwa Tanjung Priok. Korban diambil di rumah atau ditangkap disekitar lokasi penembakan. Semua korban sekitar 160 orang ditangkap tanpa prosedur dan surat perintah penangkapan dari yang berwenang. Keluarga korban juga tidak diberitahu atau diberi tembusan surat perintah penahanan. Para korban ditahan di Laksusda Jaya Kramat V, Mapomdam Guntur dan RTM Cimanggis.

3. Penyiksaan (Torture)

Semua korban yang ditahan di Laksusda Jaya, Kodim, Guntur dan RTM Cimanggis mengalami penyiksaan, intimidasi dan teror dari aparat. Bentuk penyiksaan antara lain dipukul dengan popor senjata, ditendang, dipukul dan lain-lain.

4. Penghilangan orang secara paksa (Enforced or involuntary disappearance)

Penghilangan orang ini terjadi dalam tiga tahap, pertama; menyembunyikan identitas dan jumlah korban yang tewas dari publik dan keluarganya. Hal itu terlihat dari cara penguburan yang dilakukan secara diam-diam ditempat terpencil, terpisah-pisah dan dilakukan di malam hari. Lokasi penguburan juga tidak dibuat tanda-tanda, sehingga sulit untuk diketahui. Kedua; menyembunyikan korban dengan cara melarang keluarga korban untuk melihat kondisi dan keberadaan korban selama dalam perawatan dan penahanan aparat. Ketiga adalah merusak dan memusnahkan barang bukti dan keterangan serta identitas korban. Akibat tindakan penggelapan identitas dan barang bukti tersebut sulit untuk mengetahui keberadaan dan jumlah korban yang sebenarnya secara pasti.

Dua pekan lalu, di Kompleks DPR RI Kalibata, Jakarta Selatan, ia menerima wartawan TEMPO, Setiyardi, untuk sebuah wawancara khusus. Petikannya:
Komisi Penyidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM) untuk peristiwa Tanjungpriok dibentuk pekan silam. Apa komentar Anda?

Peristiwa itu (Tanjungpriok) sampai kini masih jadi tanda tanya buat saya. Tapi, kalau dimintai bantuan, saya sudah menyiapkan data cukup banyak, dari data jumlah korban sampai kemungkinan lokasi kuburan massal.
Anda punya data yang membuktikan kuburan massal?

Memang sangat sulit. Jasad mereka sudah jadi debu. Tapi kami bisa memberikan nama-nama saksi mata. Orang-orang ini melihat truk yang mengangkut mayat korban tembakan tentara dalam peristiwa Tanjungpriok, 12 September 1984. Secara pribadi, saya membuat investigasi tentang kerusuhan di Priok selama 13 tahun di penjara. Ini saya lakukan karena kedekatan saya dengan Amir Biki (tokoh di Tanjungpriok).
Apa saja yang Anda temukan dari investigasi tersebut?

Ada seorang korban bernama Yusron yang ikut tertembak. Oleh tentara, ia dikira sudah mati. Tubuhnya ditumpuk bersama mayat-mayat di atas truk, kemudian dibawa ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto. Saat akan dimasukkan ke kamar mayat oleh perawat, Yusron bangun. Ia dirawat dan tiga butir peluru di tubuhnya bisa dikeluarkan. Dari Yusron, saya tahu bahwa mayat-mayat korban tembakan dikubur di beberapa tempat seperti Cogrek (Kampungrambutan), Slipi, dan ada yang dibakar di krematorium Cilincing.
Penjelasan resmi Jenderal Benny Moerdani-Pangab dan Pangkopkamtib ketika itu-pada 13 September 1984 menyebutkan “9 orang meninggal dan 53 luka-luka karena terkena tindakan tegas aparat maupun akibat kerusuhan itu sendiri…” (TEMPO, 22 September 1984). Sementara itu, penjelasan Anda memberi kesan banyak sekali yang meninggal?

Peristiwa Tanjungpriok tidak bisa dilepaskan dari rekayasa penguasa militer pada waktu itu-yang dipimpin Jenderal Benny Moerdani. (Dalam bukunya, Benny Moerdani; Profil Prajurit Negarawan, halaman 503, Benny menegaskan bahwa tak pernah ada niat pemerintah memojokkan umat Islam. Sebaliknya, sejumlah oknum yang tidak bertanggung jawab, dengan mengatasnamakan umat, selalu berusaha memperuncing situasi dan membakar emosi.)
Anda punya alasan tertentu?

Laporan tentang rencana tablig akbar dan demonstrasi di Tanjungpriok-Rabu, 12 September 1984-itu sudah masuk ke pihak intelijen Kodam sebelumnya. Apalagi, kegiatan itu berlangsung malam hari. Jadi, seharusnya pihak keamanan mengambil tindakan preventif-seperti yang pernah kami alami saat melakukan apel akbar soal jilbab di Lapangan Bomber, Rawasari, pada 1983.
Apa yang terjadi saat itu?

Rencana apel akbar itu bocor ke pihak Kodam Jaya sehingga semua panitia dan kiai yang akan memberikan ceramah diciduk pihak Kodam. Yang akan memberikan ceramah adalah saya, Idrus Jamalulail, dan Tony Ardie. Namun, lapangan lantas diblokir tank baja dan digunakan untuk tempat latihan tentara. Otomatis, massa tidak bisa masuk ke sana.
Apa relevansinya membandingkan kasus Lapangan Bomber dengan peristiwa Tanjungpriok?

Saya membandingkannya tatkala diadili dalam kasus Tanjungpriok. Saya kemukakan keheranan saya mengapa pihak keamanan tidak menerapkan tindakan yang sama terhadap kasus Tanjungpriok. Jadi, pihak keamanan memang sengaja “membiarkan” kasus Tanjungpriok itu terjadi. Seharusnya, kalau mau serius, tangkap saja tokoh-tokohnya seperti Amir Biki, Syarifin Maloko, Salim Qodar, dan lain-lain.
Lo, apa keuntungan pihak keamanan dengan membiarkan kerusuhan Tanjungpriok terjadi?

Mereka bisa memanfaatkan peristiwa Tanjungpriok untuk menghabisi orang-orang yang tidak disukai. Ceramah dilakukan pada pukul 10-12 malam. Saat itu, yang memberikan ceramah adalah Amir Biki, Syarifin Maloko, Yayan, dan Salim Qodar. Setelah ceramah, mereka melakukan demonstrasi dengan cara berjalan kaki menuju Kodim yang jaraknya sekitar 1,5 kilometer dari tempat ceramah. Baru sampai di depan kantor polisi di daerah itu, jamaah dicegat oleh pasukan keamanan. Penembakan terjadi setelah itu.
Di mana Anda berada ketika peristiwa itu terjadi?

Di rumah saya di Leuwiliang, Bogor. Saat itu, petugas dari Kodim menunggui saya di depan rumah. Malam saat terjadinya peristiwa, saya diciduk petugas Kodim di rumah saya di Leuwiliang.
Dengan alasan apa Anda ditangkap?

Pada zaman Orde Baru, setiap bulan saya ditangkap oleh aparat. Petugas Kodim yang datang ke rumah saya di Leuwiliang malam itu adalah petugas yang biasa menangkap saya. Dengan dia, saya bahkan sudah biasa ber-”elu-gue”.
Apakah betul Anda menjadi salah satu “otak” peristiwa Tanjungpriok?

Itu yang ditulis media massa pada waktu itu-termasuk TEMPO. Padahal, saya tidak terlibat secara langsung. Setelah ditangkap, saya langsung dibawa ke Guntur (Markas Pomdam Jaya). Mobil yang membawa saya sudah ada di depan rumah sejak pukul 22.00, sedangkan peristiwa Tanjungpriok kan terjadi pukul 23.00. Jadi, penangkapan itu benar-benar sudah direncanakan.
Bagaimana proses pemeriksaan di Guntur?

Kepala saya digunduli. Tiga orang prajurit Corps Polisi Militer (CPM) tidak bertanya apa-apa. Saya cuma ditendang ke sana kemari seperti bola. Padahal, mereka memakai sepatu lars. Aduh, prajurit-prajurit itu kan sedang gagah-gagahnya. Akibatnya, selama tiga bulan di Guntur saya tidak bisa tidur dengan posisi miring. Rasanya tulang rusuk saya hancur di dalam, walau di luarnya tidak berbekas.
Anda ditahan bersama siapa?

Dengan sekitar 400 orang lain dari Tanjungpriok. Pada malam hari, kami semua ditelanjangi, kemudian disuruh merangkak dan jalan jongkok di lapangan tanpa mengenakan pakaian. Peristiwa penganiayaan-yang terjadi empat hari setelah saya ditangkap-ini pernah saya ungkapkan di pengadilan, tapi tak ada tanggapan apa-apa.
Apakah ada yang disiksa sampai mati?

Saya tidak tahu karena kemudian saya dipindahkan ke Rumah Tahanan Militer (RTM) di Cimanggis-yang dibangun sebagai pengganti RTM Boedi Oetomo, yang digusur. Saya adalah tahanan pertama yang merasakan RTM Cimanggis. Saya tinggal di sana selama sekitar satu tahun. Sepertinya, saya diisolasi dari kawan-kawan. Mungkin karena saya dianggap bisa memengaruhi mereka.
Dari tahanan, Anda diadili dan masuk bui. Apa alasan resmi pengadilan terhadap Anda?

Dalam berita acara pemeriksaan (BAP) dan juga di pengadilan, tidak ada secuil kalimat pun yang bicara soal Tanjungpriok. Media massa menyebut saya otak peristiwa Tanjungpriok. Padahal, saya diadili karena saya menolak asas tunggal Pancasila dalam Undang-Undang Keormasan. Aparat intelijen menyita 42 kaset rekaman ceramah saya di berbagai tempat.
Lantas, mengapa Anda dihubungkan dengan kasus Tanjungpriok?

Mungkin karena saya sangat dekat dengan Amir Biki. Dia kerap meminta saya memberi ceramah. Kami sahabat dan sudah seperti saudara. Dia tokoh yang sangat disegani di Tanjungpriok. Dia kenal banyak orang di pemerintahan, termasuk orang-orang Kodam. Menurut saya, pemerintah memanfaatkan kasus Tanjungpriok untuk menciduk dan menghukum orang-orang yang tidak disukai. Saya satu-satunya orang yang dituntut hukuman mati. Rupanya, pihak kejaksaan masih menunggu instruksi. Akhirnya, saya divonis 18 tahun penjara. Saya menjalaninya “cuma” 13 tahun.
Apa aktivitas Anda di penjara?

Saya dibui di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang. Di sana ada sekitar 1.500 tahanan. Tiap hari, saya mengajar para tahanan-terutama yang kriminal-tentang salat, puasa, dan pengetahuan agama lainnya. Selain itu, saya menulis buku-buku agama Islam.
Bukankah Anda juga pernah dihukum karena ingin membakar Gedung Center for Strategic and International Studies (CSIS) di Tanahabang?

Ya, saat itu tahun 1978. Saya memerintahkan 33 orang untuk membakar Gedung CSIS. Semua orang berikut bensinnya ditahan polisi. Kemudian, mereka dibebaskan karena saya yang bertanggung jawab. Dalam kasus ini, saya dihukum selama 2 tahun 6 bulan.
Memangnya ada perseteruan apa antara Anda dan CSIS?

Saya punya sejarah panjang dengan lembaga itu. Saya tahu “permainan” mereka, yang menganggap umat Islam sebagai penghalang pembangunan nasional.
Kembali ke soal Tanjungpriok. Jenderal Rudini pernah menyatakan-saat itu sebagai KSAD-bahwa pelaku peristiwa Tanjungpriok adalah orang-orang PKI (TEMPO, 29 September 1984). Bagaimana pendapat Anda?

Itu komentar yang asal omong saja. Saat itu, tokoh-tokoh PKI masih ada di penjara. Bahkan, yang masuk golongan B (golongan pelaksana, bukan otak G30S) belum dibebaskan. Kalau Rudini menuduh orang-orang seperti saya, Amir Biki, dan Syarifin Maloko sebagai orang PKI, banyak orang tentu akan tertawa. Dalam sebuah pidato di Masjid Al-Furqon, Kramat Raya, Jakarta Pusat, saya tegas-tegas menolak tuduhan komunis itu.
Kabarnya, Anda cukup dekat dengan kalangan tentara pada masa itu-antara lain Ali Moertopo?

Awal-awalnya saya memang melakukan kerja sama dengan Ali Moertopo. Saat itu dia masih berpangkat letnan kolonel. Dulu, untuk melawan komunis, tentara dan umat Islam bergabung. Waktu itu, saya sering mengadakan rapat dengan Ali Moertopo di Kantor Opsus, Jalan Raden Saleh, Jakarta. Sebetulnya, kantor itu miliknya Pater Beek. Namun, pada 1967, saya pisah dengan Ali Moertopo. Saya sadar, ia sangat berbahaya bagi Islam.
Menurut Anda, siapa yang harus bertanggung jawab dalam peristiwa Tanjungpriok?

Secara struktural, jelas Pangab L.B. Moerdani, Pangdam Jaya Try Sutrisno, dan Dandim Sibutar-butar. Saat itu, masih ada lembaga Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Jadi, polisi tidak bisa dimintai pertanggungjawaban.
Bagaimana Anda melihat militer, khususnya setelah peristiwa Tanjungpriok?

Secara institusi, saya tidak pernah dendam. Tapi orang-orang yang menyebabkan peristiwa Tanjungpriok harus diadili.
Sebetulnya bagaimana hubungan Anda dengan ABRI/TNI? Ibaratnya, Anda bolak-balik “dihajar” tapi terus membela ABRI/TNI?

Saya membedakan antara militer sebagai institusi dan orang-orang yang memimpin. Kalau sekarang saya membela, itu institusi militer yang saya bela. Tidak ada negara mana pun di dunia ini yang tidak butuh tentara. Dulu, yang saya lawan adalah orang-orang di tentara seperti Jenderal Benny Moerdani, Laksamana Sudomo, M. Panggabean.
Apa bedanya dengan para pimpinan TNI yang kemudian? Semua tentara bekerja dengan etos dan prinsip yang sama, kan?

Jelas beda. Panggabean, Benny Moerdani, dan Sudomo tidak suka dengan kelompok Islam. Pada zaman mereka, demonstrasi langsung berhadapan dengan moncong senjata, seperti kasus Tanjungpriok itu. Sedangkan pada zaman Feisal Tanjung dan Wiranto, demonstrasi dihadapi dengan tameng.
Masa? Waktu peristiwa Semanggi tahun silam, mahasiswa kan ditembaki tentara yang bersenjata?

Pernah saya diajak diskusi oleh Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) di Kantor PBNU. Ternyata pesertanya kebanyakan dari Forum Kota (Forkot). Mereka bilang, tentara sama saja, mahasiswa ditembaki di Semanggi. Saya bilang, itu lain. Tentara menembak karena mahasiswa sendiri melawan dengan bom molotov.