Jumat, 21 Januari 2011

[RINGKAS-ED] BIDANG EKONOMI PART 1

PRIOK BERDARAH, EKOR DARI PRIVATISASI KORUP PELINDO


                Di balik dua tragedi yang berulang di Koja, Tanjung Priok, meski penyebab bisa bertolak belakang, tapi sasarannya tetap sama, yaitu umat Islam.

                Jika tragedi Priok 1984 disebabkan oleh politik represif rezim Orde Baru terhadap Islam, maka dalam kejadian yang menimpa warga Priok kali ini bermotifkan ekonomi; atau lebih tepatnya bisnis. Keserekahan antara kapitalis besar dunia atas wilayah Koja, yang ironisnya dibantu oleh pejabat pemerintah pusat dan daerah RI serta BUMN Pelindo II.

                Kapitalis dunia itu sendiri adalah Hutchison Whampoa Group, sebuah kelompok bisnis yang dimiliki oleh bos besar Hongkong Li Ka-shing yang merupakan orang terkaya di Asia Timur. Salah satu cabang perusahaan ini yaitu Hutchison Port Holdings (Grossbeak Pte Ltd.), memiliki 51% saham di Jakarta International Container Terminal (JICT) dan 48% saham di Terminal Peti Kemas (TPK) Koja. Sisa saham yang tidak dimiliki perusahaan ini dimilike oleh BUMN Pelindo II. Saham TPK Koja – yang pada saat itu berada di tangan BPPN - sendiri diambil alih oleh Hutchison Group akibat Krisis 1998.

                Proses peralihan kepemilikan ini diisi penuh oleh sogok dan kongkalikong antara Hutchison dengan pemerintah. Apa hubungan antara privatisasi ini dengan Tragedi Priok Berdarah?

                Hutchison Group, dengan saham yang lebih dari setengah pada JICT, menginginkan agar urusan peti kemas di Indonesia ditangani seluruhnya oleh JICT. Parahnya lagi, tindakan yang jelas merupakan monopoli pihak luar terhadap perusahaan lokal ini adalah karena bantuan penduduk RI sendiri. Bahkan MA sendiri pun sudah membenarkan pernyataan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang mengatakan telah terjadi monopoli di pelabuhan peti kemas Tanjung Priok.

                Dan mirisnya lagi, walau hampir setengah saham TPK Koja dimiliki oleh Hutchison Group, ingin ‘dibunuh’ oleh Hutchison Group sendiri. TPK Koja yang ditargetkan sebagai saingan bagi JICT sebagai upaya untuk mengembangkan kedua perusahaan, kini terus dianaktirikan dan disiapkan untuk mati. Dengan matinya TPK Koja, JICT akan menjadi satu-satunya perusahaan yang bergerak dalam bidang peti kemas di Indonesia, dan dengan saham yang lebih dari 50% maka Hutchison Group akan dengan mudah berdiri sebagai pemimpinnya. Padahal, sekitar tahun 1997 – sebelum Krisis Moneter 1998 – TPK Koja pernah dijuluki sebagai Booming’s Port dalam wilayah Asia Tenggara.

                PT. Pelindo II sendiri ikut mengambil andil dalam menyudutkan TPK Koja, antara lain dengan menyewakan lahan milik TPK tersebut ke PT Graha Segara (depo peti kemas) dan PT Aneka Kimia Raya untuk instalasi Tanki Penyimpanan Bahan Bakar Cair. Dan yang lebih frontal lagi, lahan milik TPK Koja disewakan ke JICT untuk memperluas Container Yard-nya – yang jelas-jelas merupakan kompetitornya.

                Perluasan lahan untuk JICT ini ditutp-tutupi dengan alasan ‘menyambung’ dermaga, ‘menyatukan’ gate ataupun yard demi kemudah Transhipment. Dalam setahun ke depan JICT memiliki rencana ekspansi besar-besaran sebesar US$ 166 juta; yang setara dengan biaya penanganan peti kemas sebanyak 3,2 juta TEU per tahun. Padahal kapasitas peti kemas yang bisa masuk ke Tanjung Priok hanya 3 juta, yang berarti jika rencana tersebut berhasil dijalankan, hanya JICT yang berkuasa di Tanjung Priok, yang lainnya bangkrut. Dengan demikian lengkaplah monopoli Hutchison Group atas pelabuhan terbesar di Indonesia ini.

                Tapi apa hubungan sebenarnya dengan Tragedi Priok? Jika ditelusur lebih dalam, rencana ekspansi ini ternyata mencakup makam Al-Habib Hassan bin Muhammad al-Haddad.

------------------------------------

yang bagian kedua blom kelar, trus ini bahasanya kacau jadi mohon dibenerin lagi... kurang lebih udah diringkas tapi kayanya  blom terlalu ringkas. terus gua gatau yang nyari makam al-haddad itu dimana jadi blom diituin deh yah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar